• KESENIAN CINGCOWONG

    Kurang lebih tahun 1990, di Dusun Wage Desa Luragunglandeuh Kecamatan  Luragung Kabupaten Kuningan seorang yang bernama “ Eyang Nata “ telah menciptakan sebuah kesenian tradisional yang di sebut dengan Cingcowong. Adapun arti kata “Cingcowong” yaitu orang-orangan (dalam bahasa sunda disebut “bebegig”) atau diambil dari kata “wong” yang artinya orang.
          Kesenian tradisional tersebut diwariskan secara turun-temurun kepada keturunan asli dari Eyang Nata dan sekarang keturunan yang mewarisi kesenian tradisional tersebut katurunan yang ke-4 yaitu aeorang yang bernama Ibu Nawita.
          Kesenian tradisional Cingcowong yaitu berupa pertunjukan yang dipeegelarkan dalam keadaan atau pada saat tertentu saja, yaitu pada saat terjadinya musim kemarau yang berkepanjangan antara 3 hinga 4 tahun berturut-turut, dan pergelaran tersebu dilaksanakan secara sukarela atau atas kesadaran sendiri demi membantu masyarakat dan untuk kemakmuran bersama.
          Tujuan kesenian tradisional Cingcowong yaitu sebuah pagelaran ritual unutk meminta hujan.
          Pagelaran Cingcowong dari mulai tahun 1960 hingga tahu 1995 sering ditampilkan, baik permintaan khusus atau permintaan dari Disparbud. Kesenian tersebut sering dipentaskan ditingkat Provinsi Jawa Barat dan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.
          Dari mulai tahun 1996 samapai sekarang kesenian tersebut jarang dipagelarkan, dikarenakan tingginya curah hujan dan stabilnya iklim yang ada di Indonesia. Tetapi kesenian tradisional Cingcowong hingga saat ini tetap dilestarikan dengan tujuan agar generasi muda mengetahui, memahami, mencintai dan ikut melestarikan kebudayaan kesenian tradisional tersebut dan juga merupakan asset kesenian dan kebudayaan Pemerintah Kabupaten Kuningan yang harus dijaga kelestariannya.

          Adapun perlatan yang dipergunakan untuk kesenian Cingcowong tersebut adalah sebagai berikut :
    1. Bubu (dalam bahasa sunda disebut buwu) yaitu alat untuk menangkap ikan atau perangkap ikan yang terbuat dari anyaman bamboo yang digukan sebgai badab Cingcowong.
    2. Gayung (dalam bahasa sunda di sebut siwur) sebagai kepalanya dan didandani sehingga menyerupai wajah wanita cantik, dalam ungkapan lain sebagai jelmaan wajah bidadari dan pakaian yang digunakan yaitu pakaian kebaya panjang sebagai sabuknya yaitu kain putih dan sebagai hisan dileher atau kalung yaitu memakai bungan kamboja yang dirangkai dan bunga tersebut dirangkai dan bunga tersebut diambil dari kuburan.
    Alat-alat pengiring yang digunkan pada pagelaran Cingcowong, diantaranya :
    1. Jambangan yang terbuat dari kuningan (disebut dengan bokor), kuningan yang dipukul sebagai ketukan (disebut dengan cneng)
    2. Tempayan (buyung) untuk pengatur irama yang dipukul dengan kipas yang terbuat dari anyaman bambu.
    3. Tangga yang terbuat dari bambu yang berfungsi untuk membawa atau menyambut turunya arwah lelembut atau dalam peribahasa untuk menyambut turunya bidadari.
    4. Tikar pandan atau tikar yang terbuat dari anyaman pandan yang biasa digunkan untuk alas orang yang meninggal dunia atau mayat, yang berfungsi sebagai alas tempat duduk pagelaran tersebut.
    5. Ruas bambu yang dipukul-pukul untuk mengiringi irama.
    Pagelaran Cingcowong dilaksanakan pada malam Jumat, sekitar pukul 17.00 Cingcowong disimpan di parit kecil (comberan) dan dengan mantra-mantra Cingcowong tersebut diisi dengan arwah penasaran yaitu arwah wanita penasaran yang tidak sempurna meninggalnya, biasanya wanita yang meninggal karena bunuh diri, gantung diri atau wanita yang sedabg hamil tua lantas meninggal dan peribahasa untuk memanggil arwah ini disebut dengan nyambat arawah bidadari.
    Kurang lebih pukul 20.00 pagelaran dimulai diawali dengan suara jambangan atau bokor kuningan yang dipukul-pukul dan disusul oleh sura tempayan yang dipukul-pukul dengan kipas yang terbuat dari anyaman bambu untuk mengatur irama ditambah denngan suara bamboo yang dipukul-pukul maka datanglah 2 orang perjaka masuk ke arena dengan membawa tangga yang terbuat dari bambu untuk menyambut kedatangan Cingcowong yang suadh dirasuki arwah lelembut atau juig jarian dalam peribahasa arwah bidadari.
    Cingcowong tersebut dibawa oleh Ibu Nawita sebgai ahli waris dari kesenian tersebut dan didampingi oleh 4 wanita yang masih keturunan Ibu Nawita atau Eyang Nata membawa kain panjang memasuki arena pentas kesenian Cingcowong tersebut. Setelah itu dalatanglah keetua adapt (dukun) seorang kakek-kakek sambil membawa kemenyan yang telah dibakar memasuki arena dan setelah ituterdengarlah suara lagu berlaraskan Salendro yang dibawakan atau dinyanyikan oleh Ibu Nawita.
    Adapun kalimat untuk memanggil Cingcowong adalah sebagai berikut :
    Cingcowong cingcowong
    Bil guna bil lembayu
    Salala lala lenggui
    Aya panganten anyar
    Aya panganten anyar

          Lili lili pring
    Denok simpringan ngali lirong
    Mas borojol gedog
    Mas borojol gedog
    Lili liguling
                Gulingna sukma katon
    Layoni putra maukun
    Maukun mangundang dewa
    Aning dewa aning sukma
    Jak rujak ranti
          Dan setelah kalimat terakhir diucapakan Cingcowong mulai bergerak dan lari mengejar penonton yang tidak percya bahwa Cingcowong tersebut telah dirasuki arwah lelembut, dan bisa jadi Cingcowong mengejar-ngejar karena suka pada orang tersebut dan pada orang yang mengolok-oloknya dengan kata-kata “Cingcowong cingcowong, hulu canting awak buhu”.
          Pada sat pagelaran dilaksanakan, ketua adat membawa ember berisi air dan diciprat-cipratkan atau disiramkan kepada para penonton sambil mengucapkan kata-kata:
          Hujan….
          Hujan….
    Hujan….

          Personil dalam pagelaran tersebut seluruhnya berjumlah 10 orang yang terdiri dari :
    • 1 orang pemukul jambangan atau bokor
    • 1 orang penabuh tempayan
    • 2 orang pembawa tangga
    • 4 orang pembawa kain panjang
    • Ibu Nawita sebgai pemeran utama, yang memegang peranan penting dalam pagelaran Cingcowong.
    • Seorang kakek-kakek, ketua adapt (dukun) yang membawakan kemenyan
    Tugas Kesenian SMA_

    0 komentar :

    Posting Komentar