Cerpen : Payung doa
Ditengah
sunyi suasana sepertiga malam, terdengar suara para petugas ‘obrog’ yang
kencang di halaman rumah. Semakin lama suara para pemuda yang meneriakkan kata “sahuur….sahuur…!!!”
terasa semakin kencang saja.
Memang
yang namanya membangunkan sahur di hari-hari pertama bulan Ramadan, para
petugas obrog selalu bersemangat. Walaupun sebagian orang merasa mereka
‘terlalu bersemangat’.
Merasa
sedikit terganggu, Anis terbangun dengan wajah kesal, “Eeeuukhh...!!! gak bisa
bangunin sahur pake lagu yang lebih enak apa??” teriaknya sambil melempar selimut bergambar beruang
kecil yang menutupi badannya.
Namun
apa mau dikata? para petugas obrog yang kian larut dengan musik mereka tak akan
mungkin mendengar kekesalan dari mulut Anis. Tak betah dengan suara yang
merusak pendengarannya, Anis terjun dari tempat tidur menuju kamar mandi dengan
langkah yang masih sempoyongan. Seperti biasanya, ia ambil segayung air untuk membasuh wajah ayunya.
”Wuiihhh….gila..dingin
banget…!!!” Anis bergidig.
“Baiklah…untuk
kali ini cukup segayung saja” sambungnya sambil meletakkan gayung dengan tangan
yang gemetaran.
Anis
benar-benar tak mau mencoba membasuh wajahnya lagi. Buru-buru ia menghindar
dari dinginnya udara di kamar mandi. Ia buka pintu kamarnya lalu keluar menuju
dapur. Tampak ayah, ibu dan adiknya telah standby di depan meja makan.
“Naaahhh…si
putri tidur bangun juga!!!” teriak Doni ketika melihat kakaknya datang.
“Husyy…gak
boleh gitu!” tegur bu Aisyah.
Anis
pura-pura tak mendengar ledekan adiknya. Ia hanya duduk lalu menunggu
gilirannya mengambil nasi. Bagi Anis
sahur kali ini ia mesti makan lebih banyak, karena ini hari pertama ia masuk sekolah
di bulan Ramadhan. Selesai sahur Anis langsung menuju kamar, niatnya ingin
tidur lagi agar ia tak merasa mengantuk saat sekolah.
“Nis …shalat subuh dulu..”
kata bu Aisyah ketika melihat putrinya pergi begitu saja.
“Iya,
Bu..” jawab Anis refleks, walaupun sebenarnya ia tak mendengar jelas perkataan
ibunya. Bruuggh…ia lemparkan tubuhnya di kasur, lalu melirik jam dinding yang
menempel di pojok kamar.
“Masih
pagi…setengah jam cukup deh buat tidur, jam lima baru shalat subuh” sahutnya.
Tanpa
kompromi lagi ia pejamkan matanya. Sesaat kemudian si jago tidur telah sampai
di negeri mimpi.
Tok…tok...tok…”Aniss…!!!”
tok..tok..tok… Anis terbangun mendengar ketukan keras pintu kamarnya. Rasanya baru lima menit ia tertidur.
“Anis…bangun
nak..sudah siang!” terdengar suara Ibu di depan pintu.
“Iya,
Bu! Duh…masih pagi gini dibilang siang!” gerutunya lalu melirik lagi jam
dinding.
“Shiiittt….koq
bisa???!” pekik Anis. Tampak jarum jam telah tepat di pukul setengah tujuh.
Anis bingung harus melakukan apa terlebih dulu. Sekilat ia menyambar seragam
yang tergantung di lemari. Lalu bergegas menuju kamar mandi. Anis tak tau pagi
itu mandinya bersih atau tidak. Yang ada difikirannya hanyalah berangkat tepat
pukul tujuh kurang seperempat, karena butuh kurang lebih 15 menit untuk sampai
disekolah. Kini Anis selesai memakai seragam jilbabnya, mengambil tas sekolah
yang ia lupa lengkap atau tidakkah buku pelajaran yang harus ia bawa hari itu.
“Bu…Anis
mau berangkat…!” teriak Anis mencari Ibu.
“Sebentar Nak, Ada titipan untuk bu guru Risa” jawab Ibu
yang tampak sedang membungkus sebuah paket.
“Aduhh...Bu..!
Nggak bisa lain waktu apa? Anis bisa kesiangan nih..!” Anis mengeluh, wajahnya
mulai tampak gelisah.
“Sebentar
lagi nak....bu Risa memerlukannya sekarang. Kebetulan kan wali kelas kamu” bu Aisyah mencoba
menjelaskan.
Anis
merasa benar-benar kesal ketika Ibunya masih juga belum selesai.
“Ini..tolong
ya!” bu Aisyah memberikan sebuah bungkusan pada Anis.
“Lama
banget sih bu…” gerutu Anis sambil menerimanya.
“Jangan
terburu-buru nak…hati-hati…kan
masih pagi!”
“Pagi-pagi
apa bu...ini sudah mau jam tujuh. Ibu mau liat Anis dihukum ya??“ bentak Anis
dengan agak kesal lalu sekilat ia
berlari keluar rumah.
Wajah
Ibu Aisyah tampak sedih melihat anaknya, tapi bukan…bukan sedih, melainkan
hawatir terhadap keselamatan putrinya yang sering kali terburu-buru. Bibirnya
bergetar seraya berkata, “ Ya Allah...lindungi putriku…”
Anis
cepat-cepat berlari menuju jalan. Di sebrang jalan, tampak sebuah angkot
berwarna biru muda melintas. Anis mencoba memberi isyarat, tapi sang sopir tak
melihatnya dan berlalu begitu saja.
“Siaall…!!
Gimana ini??” rasa cemas mulai menyelimuti hati Anis. Berkali-kali ia melirik
jam tangannya. Maklum, jarang sekali mendapatkan angkot yang menuju sekolahnya.
Beberapa
menit kemudian ahirnya ia mendapatkan sebuah angkot. Di perjalanan, fikirannya
kalang kabut. Ia tak tau alasan apa yang harus ia katakana atas
keterlambatannya dihari pertama masuk sekolah.
Perjalanan kali ini terasa lama
sekali, baru kemudian Anis sadar jalanan macet. “Ada apa, Bang??“ tanya pak
sopir kepada sopir angkot lain yang berada disampingnya.
“Tabrakan!”
jawabnya.
Anis
terkejut. Sedikit demi sedikit angkot yang ditumpanginya berjalan. Kira-kira 3
meter didepannya tampak sebuah mobil truk yang kini tak berbentuk menindih
sebuah mobil angkot berwarna biru muda. Anis membelalakan matanya ketika ia
tahu bahwa angkot tersebut adalah angkot yang ia coba hentikan beberapa menit
yang lalu. Ya...Anis semakin yakin
ketika melihat seseorang berpakaian hijau tua yang ia ingat sebagai sopir
angkot tersebut sedang diselamatkan oleh warga.
“Ya
Allah…benarkah yang aku lihat ini??“ hati Anis bergetar. Sebuah tandu membawa
seorang pelajar berpakaian putih abu melintas dihadapan angkot yang
ditumpangi Anis. Wajahnya hampir tak dapat dikenal karna dipenuhi dengan darah.
Saat itu Anis berkali-kali beristighfar, sesekali ia memalingkan mata karena tak tahan melihat pemandangan miris tersebut. Mata Anis berkaca-kaca saat ia menyadari
bahwa baru saja ia terselamatkan dari sebuah musibah yang dapat mengancam nyawanya.
Ia membayangkan seandainya ia ada di dalam angkot tersebut mungkin ia lah yang
sedang tergeletak di atas tandu. Bersimbahan darah, tak tau apakah ia dapat
terselamatkan atau tidak. Anis ingat akan ibunya, coba kalo aku tak menunggu
titipan Ibu ya Allah…lirihnya. Anis sadar Ibunyalah perantara perlindungan itu.
Angkot
yang ditumpangi Anis kini terbebas dari kemacetan dan mulai berjalan lebih
cepat. Entah apa yang membuat Anis berhenti memikirkan sekolahnya. Yang ada
difikirannya adalah angkot biru muda, baju hijau tua dan pelajar bersimbahan
darah.
Anis
menyetop angkot di depan sekolah, lalu ia berjalan menuju gerbang. Suasana
tampak sepi. Anis melihat jam tangannya, pukul tujuh dua puluh…ya Ampuunn… Anis mencoba mempercepat
langkahnya.
“Addduuhh…!!”
pekik Anis. Kakinya tiba-tiba tersandung batu yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Kakinya terasa sakit sekali. Sekilas ia memastikan tak ada darah yang keluar
dari kakinya, lalu kembali berjalan dengan terpincang-pincang.
Terlihat
satu dua orang siswa memasuki gerbang sekolah. Hati Anis sedikit lega melihat
ada teman yang terlambat. Namun tiba-tiba perasaan aneh mulai menyergapnya
ketika ia memasuki sekolah, tak ada penjaga yang biasa mangkal di gerbang untuk
menangani siswa yang terlambat. Siswa-siswi pun masih berkeliaran di depan
kelas.
“Anis…!!
Tunggu Nis!” dari belakang terdengar suara memanggil Anis.
Anis
menoleh, “ Sinta, kamu kesiangan juga?”.
“Kesiangan??
Bercanda kamu…Kan
baru jam setengah delapan. Sekarang kan
bulan puasa, Nona. Masuknya jam delapan” Sinta coba menjelaskan.
Anis
terhenyak, kini ia baru ingat, benar-benar ingat. Wajahnya mulai memerah,
matanya kembali berkaca-kaca. Ia mencoba menahan tangis namun hatinya menjerit.
Menjerit sekencang-kencangnya. Ia terbayang akan kejadian tadi pagi. Ia
benar-benar marah pada dirinya yang sering kali tergesa-gesa bahkan kadang
menyakiti hati Ibu. Anis terdiam menghentikan langkah kakinya.
“Kenapa,
Nis ??” Tanya
Sinta.
“Kamu
duluan aja. Ntar Anis nyusul” jawabnya pendek. Lalu ia berbelok melangkah menuju
mushola. Setiba di mushola, sepatu ia lepas, cepat-cepat Anis berlari memasuki
mushola. BruugGhhh…Anis membiarkan tubuhnya terjatuh di lantai, lalu bersimpuh.
Air matanya mulai menetes membasahi pipi. Tangisnya meledak membayangkan
peristiwa yang ia alami. Ia terbayang wajah Ibunya, wajah kesedihan dikala ia
membentaknya.
“Allah…Allah…ampuni
aku…” Anis memelas disela tangisnya.
“Ampuni
aku ya Rabb…sampaikan maafku pada Ibu ya Rabb..” Anis tak henti-henti meminta
ampun. Lama ia bersujud, matanya mulai sembab. Ia mencoba menghapus air
matanya. Hatinya kini dipenuhi sejuta sesal. Ia sadar banyak kesalahan yang tak
semestinya ia lakukan di Ramadan ini. Ramadhan yang seharusnya dimanfaatkan
untuk mengabdi, sering ia sia-siakan. Bahkan acap kali menyakiti hati Ibu.
Hari
itu fikiran Anis benar-benar tak karuan. Ia benar-benar ingin segera pulang. Menemui
Ibunya untuk bersimpuh…, meminta maaf.
0 komentar :
Posting Komentar