Mengapa Aktivis Dakwah Kampus harus prestatif?
Masih teringat sebuah pesan yang diucapkan ketika ibu
mengantarkan saya menuju gerbang perkuliahan, “Belajar yang rajin ya, Nak… agar
nilainya bagus dan cepat lulus”. Sebuah
do’a dan harapan dari orang tua yang merawat dan mendidik saya sejak lahir.
Tentunya kata-kata ini tak akan saya lupakan, bagaimanapun ini adalah amanah
dari orang tua. Sejauh yang saya pahami kita wajib mematuhi orang tua selama ia
tidak mengajak untuk menyekutukan Allah. Saya yakin semua orang tua mempunyai
harapan yang sama bagi anaknya yang merupakan mahasiswa. Menjadi pribadi yang
sukses yang dalam pengetahuan mereka parameter kesuksesan di kampus ini adalah
cepat lulus dan IP memuaskan.
Prestasi adalah suatu hasil usaha yang dicapai dari apa yang dikerjakan atau yang diusahakan.
Saya kira tak ada salahnya jika saya menganggap bahwa aktivis kampus yang lulus
cepat dengan IPK yang baik merupakan suatu prestasi yang membanggakan dan patut
ditiru, dan saya rasa semua orang tua pun menganggap hal yang sama. Pasalnya
karena memang IPK merupakan salah satu parameter keberhasilan mahasiswa selama
menempuh jenjang perkuliahannya.
IPK atau indeks
prestasi kumulatif (GPA or grade point average) merupakan nilai
akhir evaluasi seorang mahasiswa selama jenjang perguruan tinggi baik tahap
sarjana, master maupun tahap doktoral. Tidak dapat dipungkiri IPK menjadi tolak
ukur kecerdasan akademiki seseorang dalam bidang tertentu di kampus secara de
jure.
Dalam hal penyikapan
sebagai seorang Aktivis dakwah Kampus (ADK), IPK sesungguhnya begitu penting
bagi seorang ADK. Setidaknya, menurut saya ada 3 hal urgensi dari IPK tersebut
khususnya untuk perjalanan dakwah kita.
Pertama, IPK atau prestasi akademis
merupakan sarana syi’ar yang penting bagi ADK untuk dakwah fardhiyah dan
rekrutmen. Lingkungan kampus berisi orang-orang pandai yang memiliki
intelektualitas tinggi dan logis. Objek dakwah di lingkungan ini yakni pertama
diri kita, mahasiswa, dosen dan staf yang ada di kampus memiliki karakter
tersendiri. Dosen dan mahasiswa merupakan dua elit yang sangat berperan di
sivitas akademika. Dimata mereka orang yang dianggap hebat adalah mereka yang
memiliki prestasi akademis yang tinggi dan mampu memecahkan persoalah secara
ilmiah. Ketika IPK kita hancur apalagi sampai Drop Out, tentunya kita sebagai
aktivis dakwah tentunya akan lebih sulit mendakwahi objek dakwah kita di
kampus. Akan lebih berat pula untuk mendakwahi mahasiswa yang tertarik dengan
karya tulis dan kegiatan ilmiah diluar aktivitas kuliah sedang kita sendiri
berat untuk melakukannya. Jika ada yang beranggapan bahwa tanpa ditunjang
prestasi yang baikpun seorang ADK masih bisa berdakwah, apalagi jika ADK
tersebut ditunjang dengan prestasi yang baik? Karena dalam sejarah para
nabi, sahabat, dan alim ulama berdakwah memiliki prestasi untuk dijadikan
kekuatan dalam syiarnya.
Kedua,
merupakan sebuah keniscayaan bagi seorang ADK untuk menjadi qudwah atau
teladan bagi setiap objek dakwah dalam berbagai aspek termasuk akademis. Di
dalam Islam keteladanan itu menjadi sangat penting. Allah Subhanahu Wa
Ta’ala menjadikan Rasulullah Muhammad Shallahu ’Alaihi
Wassalam sebagai teladan bagi kaum muslimin.
“Sesungguhnya telah
ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (QS. Al Ahzab :
21)
Begitu juga seorang
ADK, harus senantiasa bisa memberikan keteladan dalam berbagai aspek, tidak
hanya ubudiyah dan akhlakul karimah saja tapi
juga aspek akademis. Jangan sampai aktivis dakwah berdalih atau membenarkan IPK
kita rendah karena kesibukan dalam amanah dakwah. Apalagi sampai keluar
ungkapan bahwa “ IPK di bawah 2.00 bahkan Drop Out adalah syahidnya seorang
ADK”.
Seorang ustadz yang
pernah menyusun trilogi dakwah kampus (Da’wi, Ilmi dan Siyasi)
mengatakan bahwa buruknya prestasi kader itu terjadi karena kurangnya
kedisiplinan dari kader dalam mengatur urusannya. Dan sesungguhnya ikhwah
fillah, aktivitas dakwah kita tidaklah mengambil waktu belajar atau
kuliah kita, tapi hanya mengambil waktu yang kurang bermanfaat dari diri kita
atau sedikit waktu tidur kita. Maka jikalau prestasi akademis kita menurun,
sungguh itu karena kesalahan kita sendiri.
Dan yang ketiga, IPK yang bagus merupakan kunci untuk
membuka gerbang menuju dakwah profesi. Dakwah ini jalan panjang. Perlu
kita sadari bahwa dakwah kita tidak hanya sebatas berhenti di kampus saja. Akan
tetapi harus berlanjut bahkan lebih gencar di dunia profesi. Tiga sektor pasca
kampus yaitu public sector, private sector dan third
(social) sector merupakan lawan dakwah yang harus kita hadapi guna
menyebarkan fikrah islam dan membentuk bi’ah islami di tempat
kita bekerja. Apalagi jikalau pekerjaan kita menyangkut hajat hidup orang
banyak atau menyangkut kepentingan publik, sangat penting untuk menjaga agar
tidak terjadi penyelewengan fungsi yang bisa merugikan masyarakat. Dan fungsi
itu tidak kita bisa kita tunaikan apabila kita tidak bisa memasuki sektor
tersebut. Realitanya kebanyakan dari sektor publik dan privat menghendaki
standar IPK minimal agar kita bisa bekerja di sana dan itu adalah syarat
administrasi awal. Oleh karena itu, tentu kita akan kesulitan berdakwah di sana
kalau IPK kita tidaklah bagus atau paling memenuhi standar minimal.
Pada akhirnya tiada
prestasi berarti tanpa niat dan ikhtiar. Oleh karena itu, mari kita sebagai
Aktivis Dakwah Kampus senantiasa memperbaiki diri kita guna menjadi pribadi
yang lebih baik. Pribadi yang memberikan keteladan dalam ubudiyah, akhlakul
karimah, aktivitas dakwah dan juga dalam hal prestasi akademis. Insya Allah
dengan ikhtiar yang kuat dan doa yang tulus, Allah akan memberikan hasil
terbaik atas usaha-usaha yang kita lakukan. Wallahu ‘alam bisshawab.
(Dikutip dari
berbagai sumber)